"Belajar mencintai masyarakat. Karena pada akhirnya, kami akan kembali kepada masyarakat, mengabdi, memberi arti."
Selasa, 7 April 2015. Sehari setelah hari pertama kami memulai beradaptasi dalam kehidupan dokter muda, kami langsung turun ke Puskesmas Ambacang Kuranji. Ya, siklus pertama yang angkatan kami di periode pasca yudisium ke-2 dapat adalah siklus Ilmu Kesehatan Masyarakat, atau kerennya, kami menyebutnya dengan PH (Public Health). Banyak yang bilang, siklus PH ini siklus yang santai. Saya pun mengamini. Sampai suatu hari salah satu dosen seolah ‘menyentil’ kami dengan perkataan ini:
“…yang kalian perlu sadari adalah berada di dalam suatu siklus hanyalah satu-satunya kesempatan dalam hidup kalian. Satu-satunya kesempatan dalam 4 atau 8 minggu siklus itu untuk mempelajari semua ilmu di siklus tersebut. Gunakanlah kesempatan kalian itu dengan bijak.”
Ketika kita merasa suatu mata kuliah tidak penting, ketika itu pulalah kesempatan kita untuk memahami mata kuliah itu lenyap. Kita tidak menggunakan kesempatan itu dengan bijak. Semua dari kita mungkin pernah mengalami ini. Mengabaikan dan menganggap remeh suatu hal sehingga terlambat menyadari sesuatu yang kita abaikan tersebut ternyata akan terus terpakai di keseharian kita. Contoh mudahnya bagi mahasiswa/i kedokteran: mari kita tanyakan bagaimana alur pendaftaran JKN BPJS? Tentu jawaban mudahnya adalah daftarkan diri ke kantor BPJS Kesehatan. Tapi apakah sekadar jawaban seperti itu cukup? Bagaimana dengan warga tidak mampu yang jangankan pergi ke kantor BPJS, pergi ke berobat ke Puskesmas pun tidak sempat terlintas di benak mereka karena memikirkan kebutuhan primer yang kian mahal. Disanalah tanggung jawab moral dari tenaga kesehatan untuk mengedukasi bagaimana ikut serta dalam JKN BPJS. Memberikan informasi bahwa warga tidak mampu akan dibayarkan negara untuk menjadi peserta BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan kelengkapan-kelengkapan dokumen yang diperlukan.
Untuk itulah, di siklus PH ini, satu-satunya kesempatan kami mempelajari bagaimana sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Mempelajari bagaimana memanajemen Puskesmas atau pelayanan fasilitas kesehatan primer. Ketidakmampuan lini kesehatan primer mengedukasi tentang JKN BPJS ini kepada masyarakat dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Mempelajari dan berlatih menerapkan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Di siklus Ilmu Penyakit Dalam tidak akan kita pelajari UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tapi ketika mengisi status pasien dalam rekam medis, ternyata UU melarang menghapus perubahan catatan atau kesalahan dalam RM kecuali dengan pencoretan. Mekanisme BPJS tidak akan didapatkan dalam siklus Ilmu Kesehatan Anak, tapi akan ada orangtua pasien yang mengeluhkan BPJS kepada dokter muda.
Mengenai pentingnya edukasi JKN BPJS di faskes primer, saya melihatnya sendiri ketika sudah berpindah ke siklus selanjutnya, siklus pertama saya di siklus besar: Obstetri dan Ginekologi. Pada akhir dinas malam pertama, datang pasien yang sudah dalam kondisi syok perdarahan karena retentio placenta (ada bagian plasenta yang tertinggal) setelah melahirkan. Kondisi ini akan terus menyebabkan perdarahan pada ibu, dan baru dirujuk ke RSUP M Djamil 4 hari setelahnya! Hb pasien bahkan menunjukkan angka yang sangat rendah, 3 g/dl, padahal nilai normal Hb ibu hamil adalah >12 g/dl. Tekanan darah pasien 80/50. Ketika ditanya apakah bapak (suami pasien) mendaftar BPJS, ia berkata tidak. Karena faskes primer kurang efektif mengeduksi, keluarga bapak itu tidak mendaftar BPJS sebelumnya. Padahal jika edukasi berjalan efektif, mereka sekarang sudah terdaftar menjadi peserta JKN BPJS, dan kondisi pasien sekarang yang membutuhkan transfusi darah segera dan kuretase bisa dilakukan dengan jaminan penuh dari JKN BPJS. Untuk informasi, satu kantong darah PRC (packed red cell) berharga sekitar Rp400.000,- dan ketika itu diresepkan 4 kantong, dan biaya kuretase sekitar Rp2.500.000,-, itu baru biaya minimal yang perlu bapak itu keluarkan. Belum lagi biaya kamar rawatan dan obat-obatan lainnya.
JKN baru satu dari banyak ilmu yang harus kami pahami dalam siklus PH ini. Belum lagi kenyataan lapangan bahwa anamnesis yang idealnya dalam ruang-ruang belajar skills lab kami harus rinci, ternyata di Puskesmas hanya bisa kurang dari 5 menit. Ilmu pemeriksaan fisik anak yang kami dapatkan di ruang kuliah bahwa bagaimanapun penyakit yang diderita anak, seharusnya diperiksa dari ujung rambut hingga ujung kuku, di Puskesmas hanya diperiksa bagian yang dikeluhkan anak. Di siklus PH ini kami belajar cara melakukan problem solving berbagai masalah yang ada di pelayanan faskes primer. Ya, kami belajar bagaimana menjadi Kepala Puskesmas.
Kembali ke cerita pertama kali kami turun di Puskesmas Ambacang Kuranji. Pengalaman yang berharga, pertama kali berinteraksi langsung dengan pasien yang menceritakan gejala yang ia derita langsung match dengan gejala klinis TB, pertama kali melakukan rumple leed test pada anak yang demam dan ditemukan ptekie positif, sehingga perlu dipikirkan kemungkinan demam berdarah, selain kemungkinan infeksi lain (sekilas tentang DBD, bisa dibaca disini). Pertama kali berinteraksi dengan elemen-elemen tenaga kesehatan di Puskesmas, seperti ahli kesehatan masyarakat, ahli farmasi, perawat, bidan, serta mahasiswa/i keperawatan dan kebidanan, dan lainnya. Pertama kali melihat pasien yang mengalami pterygium (kelainan pada mata, dikenal juga dengan Surfer’s eye disease). Pertama kali menganamnesis (wawancara tentang penyakit) pasien secara langsung di Puskesmas. Pertama kali melihat alat peraga untuk KB. Pertama kali memeriksa hernia inguinalis yang bisa dimasukkan kembali (reponibilis). Dan banyak pertama kali-pertama kali lainnya.
Mempelajari ilmu mengenai kesehatan masyarakat, pengalaman bekerja di puskesmas sekaligus mencari masalah yang ada di puskesmas untuk dipecahkan merupakan tantangan dalam menyelesaikan siklus PH ini. Ide-ide perbaikan derajat kesehatan di Indonesia sangat erat hubungannya dengan IKM. Jika seorang dokter abai akan hal ini, ia akan menyia-nyiakan kesempatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Karena cara “menyehatkan” satu orang tentu berbeda dengan cara “menyehatkan” satu komunitas masyarakat. Dan semuanya akan kembali kepada diri masing-masing dokter muda apakah akan serius dalam menjalani siklus ini karena bagian dari tanggung jawab moral kita kepada masyarakat atau menjalaninya dengan santai tanpa beban. Atau jalan tengahnya: menjalaninya dengan santai tapi tetap serius dan bertanggung jawab. You choose :)
"Belajar mencintai masyarakat. Karena pada akhirnya, kami akan kembali kepada masyarakat, mengabdi, memberi arti."
Padang, 15 Mei 2015
0 comments:
Post a Comment