Photo credit: @duniacoass |
Katanya si A itu pembawa pasien…
Katanya kalau si B yang dinas, IGD pasti rame…
Katanya kalau C sama D duet, seharian jaga bakal sepi nih…
Katanya…
Katanya…
Katanya…
Katanya kalau si B yang dinas, IGD pasti rame…
Katanya kalau C sama D duet, seharian jaga bakal sepi nih…
Katanya…
Katanya…
Katanya…
***
Pernah mendengar kata-kata di atas? Teman-teman yang pernah bekerja di rumah sakit mungkin sering mendengar kata-kata tersebut. Dan ternyata, di salah satu bagian tertentu RS di Pulau S ternyata ada oknum yang mempercayai hal-hal demikian. Oknum ya, jadi jangan di generalisir :p. Kok bisa ya?
Budaya. Sama halnya dengan berbagai mitos yang beredar di masyarakat. Kenapa sampai sekarang di masa kemajuan ilmu pengetahuan seperti ini, hal-hal irasional seperti mitos masih ada? Jawabannya adalah karena sudah membudaya, sudah menjadi hal yang biasa dan dianggap lazim oleh masyarakat. Mirisnya lagi, budaya mempercayai mitos juga tumbuh di kalangan masyarakat yang (katanya) muslim. Parahnya lagi, para sarjana yang (katanya) beragama Islam pun bisa percaya!
Kenapa gw garisbawahi muslim dan Islam? Karena sesungguhnya muslim yang baik dan memang mengenal agamanya (Islam) dengan benar harusnya tahu bahwa Islam adalah agama yang rasional!
“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang di bumi untukmu semuanya, (sebagai rahmat) dariNya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir”
-Al Jaatsiyah 45:13
“...Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”
-Al Baqarah 2:164
“Katanya kalau si B yang dinas, IGD pasti rame…”
Kalimat ini menunjukkan hubungan kausalitas (sebab-akibat), sehingga apabila B (variabel independen) dinas di suatu waktu, maka ia akan mempengaruhi keramaian IGD (variabel dependen). Kalimat ini bisa bermakna jika seseorang yang mengatakan ini (atau yang mempercayai ini), memang melakukan observasi, dan menuangkannya dalam hasil penelitian dengan metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan. Misalnya ia menggunakan Uji T, dan mendapatkan taraf signifikansi < 0,05, maka ia benar menyatakan adanya pengaruh yang signifikan antara kehadiran B dengan ramainya IGD. Belum lagi mempertimbangkan faktor eksklusi apakah dikatakan “rame” itu “rame” dengan pasien, atau dengan non-pasien. Jika orang itu tidak melakukan observasi, bagaimana mungkin ia bisa menyatakan kehadiran B “membawa pasien”?
Kalau sekadar ia melihat di satu hari, B datang, dan IGD ramai, lalu dengan pede mengatakan B “membawa pasien” dan tidak mau dinas bersama B, jelas itu asumsi irasional karena ia tidak mempertimbangkan kondisi ketika B datang dan ternyata IGD sepi. Ingat, Islam agama yang rasional. Jika sekadar asumsi irasional seperti kalimat di atas, berhati-hatilah, karena orang tersebut bisa terjebak dalam “thiyarah” karena “tathayyur”. Dan kedua hal ini merupakan suatu kesyirikan. Hati-hati, bung!
Apa itu tathayyur dan thiyarah? Al-Qarafi rahimahullah membedakan makna kedua lafaz tersebut. Beliau rahimahullah berkata: “Tathayyur adalah persangkaan jelek yang muncul dalam hati. sedangkan thiyarah adalah perbuatan yang dilakukan sebagai sebagai akibat dari persangkaan itu, yaitu larinya dia dari urusan yang akan dilakukan atau perbuatan yang lain.” Jadi seseorang memiliki persangkaan jelek terhadap keberadaan si B yang dianggap “membawa pasien” sehingga dia diusir/tidak diperbolehkan berada di IGD. Atau bahasa mudahnya, tathayyur adalah “menuduh” seseorang/sesuatu sebagai sebab suatu peristiwa, tanpa dapat menunjukkan landasan ilmiah hubungan sebab-akibat antara keduanya. Pamali, kata orang Indonesia.
Poin utama kenapa gw menuliskan hal ini adalah, karena thiyarah dan tathayyur adalah perbuatan syirik! Rasulullah sendiri yang mengatakan lho.. Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik. Para Sahabat bertanya: ‘Lalu apa tebusannya?’ Beliau menjawab: ‘Hendaklah ia mengucapkan: Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’”
Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan setaan berupa godaan dan bisikannya. Rasulullah bersabda: “Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan: “Orang yang ber-tathayyur itu
tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya,
dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka
menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling
gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak
memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang
kehilangan peluang dan kesempatan.”
Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan setaan berupa godaan dan bisikannya. Rasulullah bersabda: “Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”
Mungkin teman-teman ada yang beranggapan “yaelah jol, santai aje kali. Namanya juga becandaan. Selo bro.” Tapi maaf bro, nabi kita sudah mengingatkan kita akan hal itu, dan ngomongin hal ini, gw sensitif kalo becandaannya udah nyerempet ke akidah. Lo tau kan, syirik itu dosa besar?”
***
Tapi…
Tapi…
Kalau si B itu mendorong kursi roda pasien ke IGD, atau menyetir mobil ambulan yang berisi pasien pasca kecelakaan lalu-lintas, baru itu boleh dikatakan si B memang “pembawa pasien”, hahaha ;).
Wallahu a’lam bishshawab
Padang, 24 Mei 2015
Referensi:
- Alquran.
- Muhammad, A. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. (alih bahasa oleh Ghoffar, MA., Mu’thi, A., Al-Atsari, AI). Bogor: Pustaka Imam Syafi’i
- Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-4 ed. Jakarta: Sagung Seto
- http://al-atsariyyah.com/1655.html
- http://almanhaj.or.id/content/2397/slash/0/hukum-thiyarah-tathayyur-menganggap-sial-karena-sesuatu/
- http://elhijrah.blogspot.com/2012/01/penjelasan-tentang-makna-thiyarah-dan.html
- http://www.statistikian.com/2012/07/jenis-data-dan-pemilihan-analisis.html
- Alquran.
- Muhammad, A. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. (alih bahasa oleh Ghoffar, MA., Mu’thi, A., Al-Atsari, AI). Bogor: Pustaka Imam Syafi’i
- Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-4 ed. Jakarta: Sagung Seto
- http://al-atsariyyah.com/1655.html
- http://almanhaj.or.id/content/2397/slash/0/hukum-thiyarah-tathayyur-menganggap-sial-karena-sesuatu/
- http://elhijrah.blogspot.com/2012/01/penjelasan-tentang-makna-thiyarah-dan.html
- http://www.statistikian.com/2012/07/jenis-data-dan-pemilihan-analisis.html