Sunday, 24 May 2015

Katanya... Kata Siapa? [Mitos Si Pemanggil]

Photo credit: @duniacoass

Katanya si A itu pembawa pasien…
Katanya kalau si B yang dinas, IGD pasti rame…
Katanya kalau C sama D duet, seharian jaga bakal sepi nih…

Katanya…
Katanya…
Katanya…

***

Pernah mendengar kata-kata di atas? Teman-teman yang pernah bekerja di rumah sakit mungkin sering mendengar kata-kata tersebut. Dan ternyata, di salah satu bagian tertentu RS di Pulau S ternyata ada oknum yang mempercayai hal-hal demikian. Oknum ya, jadi jangan di generalisir :p. Kok bisa ya?

Budaya. Sama halnya dengan berbagai mitos yang beredar di masyarakat. Kenapa sampai sekarang di masa kemajuan ilmu pengetahuan seperti ini, hal-hal irasional seperti mitos masih ada? Jawabannya adalah karena sudah membudaya, sudah menjadi hal yang biasa dan dianggap lazim oleh masyarakat. Mirisnya lagi, budaya mempercayai mitos juga tumbuh di kalangan masyarakat yang (katanya) muslim. Parahnya lagi, para sarjana yang (katanya) beragama Islam pun bisa percaya!

Kenapa gw garisbawahi muslim dan Islam? Karena sesungguhnya muslim yang baik dan memang mengenal agamanya (Islam) dengan benar harusnya tahu bahwa Islam adalah agama yang rasional!

“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang di bumi untukmu semuanya, (sebagai rahmat) dariNya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir”
-Al Jaatsiyah 45:13

“...Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”
-Al Baqarah 2:164

Selain ayat-ayat di atas, akan kita temukan banyak lagi seruan-seruan dalam Alquran agar kita senantiasa berpikir, teman-teman. Mari kita telaah salah satu kalimat pembuka tadi dengan pikiran yang rasional:
“Katanya kalau si B yang dinas, IGD pasti rame…”

Kalimat ini menunjukkan hubungan kausalitas (sebab-akibat), sehingga apabila B (variabel independen) dinas di suatu waktu, maka ia akan mempengaruhi keramaian IGD (variabel dependen). Kalimat ini bisa bermakna jika seseorang yang mengatakan ini (atau yang mempercayai ini), memang melakukan observasi, dan menuangkannya dalam hasil penelitian dengan metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan. Misalnya ia menggunakan Uji T, dan mendapatkan taraf signifikansi < 0,05, maka ia benar menyatakan adanya pengaruh yang signifikan antara kehadiran B dengan ramainya IGD. Belum lagi mempertimbangkan faktor eksklusi apakah dikatakan “rame” itu “rame” dengan pasien, atau dengan non-pasien. Jika orang itu tidak melakukan observasi, bagaimana mungkin ia bisa menyatakan kehadiran B “membawa pasien”?

Kalau sekadar ia melihat di satu hari, B datang, dan IGD ramai, lalu dengan pede mengatakan B “membawa pasien” dan tidak mau dinas bersama B, jelas itu asumsi irasional karena ia tidak mempertimbangkan kondisi ketika B datang dan ternyata IGD sepi. Ingat, Islam agama yang rasional. Jika sekadar asumsi irasional seperti kalimat di atas, berhati-hatilah, karena orang tersebut bisa terjebak dalam “thiyarah” karena “tathayyur”. Dan kedua hal ini merupakan suatu kesyirikan. Hati-hati, bung!

Apa itu tathayyur dan thiyarah? Al-Qarafi rahimahullah membedakan makna kedua lafaz tersebut. Beliau rahimahullah berkata: “Tathayyur adalah persangkaan jelek yang muncul dalam hati. sedangkan thiyarah adalah perbuatan yang dilakukan sebagai sebagai akibat dari persangkaan itu, yaitu larinya dia dari urusan yang akan dilakukan atau perbuatan yang lain.” Jadi seseorang memiliki persangkaan jelek terhadap keberadaan si B yang dianggap “membawa pasien” sehingga dia diusir/tidak diperbolehkan berada di IGD. Atau bahasa mudahnya, tathayyur adalah “menuduh” seseorang/sesuatu sebagai sebab suatu peristiwa, tanpa dapat menunjukkan landasan ilmiah hubungan sebab-akibat antara keduanya. Pamali, kata orang Indonesia.

Poin utama kenapa gw menuliskan hal ini adalah, karena thiyarah dan tathayyur adalah perbuatan syirik! Rasulullah sendiri yang mengatakan lho.. Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik. Para Sahabat bertanya: ‘Lalu apa tebusannya?’ Beliau menjawab: ‘Hendaklah ia mengucapkan: Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’”

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan: “Orang yang ber-tathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan.”

Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan setaan berupa godaan dan bisikannya. Rasulullah bersabda: “Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”

Mungkin teman-teman ada yang beranggapan “yaelah jol, santai aje kali. Namanya juga becandaan. Selo bro.” Tapi maaf bro, nabi kita sudah mengingatkan kita akan hal itu, dan ngomongin hal ini, gw sensitif kalo becandaannya udah nyerempet ke akidah. Lo tau kan, syirik itu dosa besar?”

***

Tapi…

Kalau si B itu mendorong kursi roda pasien ke IGD, atau menyetir mobil ambulan yang berisi pasien pasca kecelakaan lalu-lintas, baru itu boleh dikatakan si B memang “pembawa pasien”, hahaha ;).

Wallahu a’lam bishshawab

Padang, 24 Mei 2015


Referensi:
- Alquran.
- Muhammad, A. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. (alih bahasa oleh Ghoffar, MA., Mu’thi, A., Al-Atsari, AI). Bogor: Pustaka Imam Syafi’i
- Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-4 ed. Jakarta: Sagung Seto
- http://al-atsariyyah.com/1655.html
- http://almanhaj.or.id/content/2397/slash/0/hukum-thiyarah-tathayyur-menganggap-sial-karena-sesuatu/
- http://elhijrah.blogspot.com/2012/01/penjelasan-tentang-makna-thiyarah-dan.html
- http://www.statistikian.com/2012/07/jenis-data-dan-pemilihan-analisis.html

Saturday, 16 May 2015

Pengalaman Pertama Part 1: IKM

"Belajar mencintai masyarakat. Karena pada akhirnya, kami akan kembali kepada masyarakat, mengabdi, memberi arti."

Selasa, 7 April 2015. Sehari setelah hari pertama kami memulai beradaptasi dalam kehidupan dokter muda, kami langsung turun ke Puskesmas Ambacang Kuranji. Ya, siklus pertama yang angkatan kami di periode pasca yudisium ke-2 dapat adalah siklus Ilmu Kesehatan Masyarakat, atau kerennya, kami menyebutnya dengan PH (Public Health). Banyak yang bilang, siklus PH ini siklus yang santai. Saya pun mengamini. Sampai suatu hari salah satu dosen seolah ‘menyentil’ kami dengan perkataan ini:
“…yang kalian perlu sadari adalah berada di dalam suatu siklus hanyalah satu-satunya kesempatan dalam hidup kalian. Satu-satunya kesempatan dalam 4 atau 8 minggu siklus itu untuk mempelajari semua ilmu di siklus tersebut. Gunakanlah kesempatan kalian itu dengan bijak.”

Ketika kita merasa suatu mata kuliah tidak penting, ketika itu pulalah kesempatan kita untuk memahami mata kuliah itu lenyap. Kita tidak menggunakan kesempatan itu dengan bijak. Semua dari kita mungkin pernah mengalami ini. Mengabaikan dan menganggap remeh suatu hal sehingga terlambat menyadari sesuatu yang kita abaikan tersebut ternyata akan terus terpakai di keseharian kita. Contoh mudahnya bagi mahasiswa/i kedokteran: mari kita tanyakan bagaimana alur pendaftaran JKN BPJS? Tentu jawaban mudahnya adalah daftarkan diri ke kantor BPJS Kesehatan. Tapi apakah sekadar jawaban seperti itu cukup? Bagaimana dengan warga tidak mampu yang jangankan pergi ke kantor BPJS, pergi ke berobat ke Puskesmas pun tidak sempat terlintas di benak mereka karena memikirkan kebutuhan primer yang kian mahal. Disanalah tanggung jawab moral dari tenaga kesehatan untuk mengedukasi bagaimana ikut serta dalam JKN BPJS. Memberikan informasi bahwa warga tidak mampu akan dibayarkan negara untuk menjadi peserta BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan kelengkapan-kelengkapan dokumen yang diperlukan.

Untuk itulah, di siklus PH ini, satu-satunya kesempatan kami mempelajari bagaimana sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Mempelajari bagaimana memanajemen Puskesmas atau pelayanan fasilitas kesehatan primer. Ketidakmampuan lini kesehatan primer mengedukasi tentang JKN BPJS ini kepada masyarakat dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Mempelajari dan berlatih menerapkan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Di siklus Ilmu Penyakit Dalam tidak akan kita pelajari UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tapi ketika mengisi status pasien dalam rekam medis, ternyata UU melarang menghapus perubahan catatan atau kesalahan dalam RM kecuali dengan pencoretan. Mekanisme BPJS tidak akan didapatkan dalam siklus Ilmu Kesehatan Anak, tapi akan ada orangtua pasien yang mengeluhkan BPJS kepada dokter muda.

Mengenai pentingnya edukasi JKN BPJS di faskes primer, saya melihatnya sendiri ketika sudah berpindah ke siklus selanjutnya, siklus pertama saya di siklus besar: Obstetri dan Ginekologi. Pada akhir dinas malam pertama, datang pasien yang sudah dalam kondisi syok perdarahan karena retentio placenta (ada bagian plasenta yang tertinggal) setelah melahirkan. Kondisi ini akan terus menyebabkan perdarahan pada ibu, dan baru dirujuk ke RSUP M Djamil 4 hari setelahnya! Hb pasien bahkan menunjukkan angka yang sangat rendah, 3 g/dl, padahal nilai normal Hb ibu hamil adalah >12 g/dl. Tekanan darah pasien 80/50. Ketika ditanya apakah bapak (suami pasien) mendaftar BPJS, ia berkata tidak. Karena faskes primer kurang efektif mengeduksi, keluarga bapak itu tidak mendaftar BPJS sebelumnya. Padahal jika edukasi berjalan efektif, mereka sekarang sudah terdaftar menjadi peserta JKN BPJS, dan kondisi pasien sekarang yang membutuhkan transfusi darah segera dan kuretase bisa dilakukan dengan jaminan penuh dari JKN BPJS. Untuk informasi, satu kantong darah PRC (packed red cell) berharga sekitar Rp400.000,- dan ketika itu diresepkan 4 kantong, dan biaya kuretase sekitar Rp2.500.000,-, itu baru biaya minimal yang perlu bapak itu keluarkan. Belum lagi biaya kamar rawatan dan obat-obatan lainnya.

JKN baru satu dari banyak ilmu yang harus kami pahami dalam siklus PH ini. Belum lagi kenyataan lapangan bahwa anamnesis yang idealnya dalam ruang-ruang belajar skills lab kami harus rinci, ternyata di Puskesmas hanya bisa kurang dari 5 menit. Ilmu pemeriksaan fisik anak yang kami dapatkan di ruang kuliah bahwa bagaimanapun penyakit yang diderita anak, seharusnya diperiksa dari ujung rambut hingga ujung kuku, di Puskesmas hanya diperiksa bagian yang dikeluhkan anak. Di siklus PH ini kami belajar cara melakukan problem solving berbagai masalah yang ada di pelayanan faskes primer. Ya, kami belajar bagaimana menjadi Kepala Puskesmas.

Kembali ke cerita pertama kali kami turun di Puskesmas Ambacang Kuranji. Pengalaman yang berharga, pertama kali berinteraksi langsung dengan pasien yang menceritakan gejala yang ia derita langsung match dengan gejala klinis TB, pertama kali melakukan rumple leed test pada anak yang demam dan ditemukan ptekie positif, sehingga perlu dipikirkan kemungkinan demam berdarah, selain kemungkinan infeksi lain (sekilas tentang DBD, bisa dibaca disini). Pertama kali berinteraksi dengan elemen-elemen tenaga kesehatan di Puskesmas, seperti ahli kesehatan masyarakat, ahli farmasi, perawat, bidan, serta mahasiswa/i keperawatan dan kebidanan, dan lainnya. Pertama kali melihat pasien yang mengalami pterygium (kelainan pada mata, dikenal juga dengan Surfer’s eye disease). Pertama kali menganamnesis (wawancara tentang penyakit) pasien secara langsung di Puskesmas. Pertama kali melihat alat peraga untuk KB. Pertama kali memeriksa hernia inguinalis yang bisa dimasukkan kembali (reponibilis). Dan banyak pertama kali-pertama kali lainnya.

Mempelajari ilmu mengenai kesehatan masyarakat, pengalaman bekerja di puskesmas sekaligus mencari masalah yang ada di puskesmas untuk dipecahkan merupakan tantangan dalam menyelesaikan siklus PH ini. Ide-ide perbaikan derajat kesehatan di Indonesia sangat erat hubungannya dengan IKM. Jika seorang dokter abai akan hal ini, ia akan menyia-nyiakan kesempatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Karena cara “menyehatkan” satu orang tentu berbeda dengan cara “menyehatkan” satu komunitas masyarakat. Dan semuanya akan kembali kepada diri masing-masing dokter muda apakah akan serius dalam menjalani siklus ini karena bagian dari tanggung jawab moral kita kepada masyarakat atau menjalaninya dengan santai tanpa beban. Atau jalan tengahnya: menjalaninya dengan santai tapi tetap serius dan bertanggung jawab. You choose :)

"Belajar mencintai masyarakat. Karena pada akhirnya, kami akan kembali kepada masyarakat, mengabdi, memberi arti."

Padang, 15 Mei 2015

Sunday, 3 May 2015

Sudahkah Kamu Mengabari Ibumu?

6 April 1994, hari dimana ia dilahirkan ke dunia ini. 6 April 2015, hari pertama ia mengukir kisah perjalanan hidup sebagai dokter muda sebuah universitas negeri ternama di pulau Sumatera. Melewati berbagai momen yang indah untuk dikenang, sebagai modal membangun mimpi di masa yang akan datang. Melewati 21 kali ujian tertulis MCQ (Multiple Choice Questions), melewati 21 kali ujian Skills lab, dan melewati ujian proposal dan ujian hasil skripsi. Puncaknya, ia harus mengikuti ujian komprehensif dan 12 stase OSCE (Objective Structured Clinical Examination) sebagai penentu apakah ia boleh melanjutkan perjuangannya dalam kerasnya kehidupan klinik atau harus berhenti sejenak memantapkan apa yang belum dimantapkan.

***

Tapi ternyata, ﷲ menskenariokan cerita tambahan dalam kisah perjalanan anak muda ini, anak muda ini tidak serta merta melewati tahapan tersebut dengan mudah. Bukankah ﷲ akan menguji hambaNya sesuai dengan keimanan yang dimiliki? Jika agamanya semakin kuat, semakin bertambah pula ujiannya. Demikan tafsir Ibnu Katsir dalam Q.S. Al ‘Ankabut ayat 2 yang berbunyi: 

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan 'kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?”

Ya, ternyata anak muda ini harus melewati ujian tambahan berupa sakit sesaat menjelang ujian komprehensif dan OSCE. Jumat, 20 Maret 2015, ketika anak muda ini mengikuti rapat komisi dalam suatu lembaga negara KM FK Unand, ia gelisah karena merasa tidak enak dengan kondisi badannya saat itu. Hari berganti, ternyata kondisi badan semakin drop, 3 hari berturut-turut ia mengukur suhu tubuhnya, didapati angka yang selalu berkisar diantara 38,9 -39,1 °C. Suhu tubuh manusia normal sendiri berkisar antara 36-37,5 °C. Padahal Hari Senin ia harus mengikuti Yudisium Sarjana Kedokteran, Tidak ikut Yudisium = belum berhak atas gelar S.Ked = tidak bisa ikut ujian komprehensif dan OSCE! Bertambahlah kegelisahan anak muda itu dan hampir-hampir ia patah arang akan bisa mengikuti kedua ujian yang menentukan tersebut.

Dengan memaksakan diri, akhirnya anak muda tersebut mengambil keputusan untuk tetap mengikuti Yudisium. Dan di dalam ruang aula kampus tersebut, disampaikanlah kepada mereka (termasuk si anak muda) bahwa masa studi perklinik sudah usai dan mereka sudah boleh menuliskan gelar S.Ked di belakang nama mereka! Kebahagiaan ini bagi anak muda itu berlangsung cepat. Ketika teman-temannya sedang dalam euphoria, anak muda ini meminta tolong kepada salah seorang rekannya untuk mengantarkannya ke IGD. Ya, IGD salah satu RS yang ada di Kota Padang. Yudisium selesai, ujian baru menghampiri. Dokter jaga IGD memutuskan bahwa anak muda ini harus dirawat inap. Ya. Anak muda ini dirawat inap hari Senin sore. Diagnosis dokter ia menderita DBD (Demam Berdarah Dengue). Dan Jumat dalam minggu yang sama, ia harus mengikuti ujian. Kecemasan pun menyelimuti pikiran anak muda itu.

***

Sekilas tentang DBD. Mungkin teman-teman pembaca sudah tahu apa itu DBD. Tapi bagaimana seseorang dikatakan suspect DBD atau sudah DBD? Ternyata, DBD itu merupakan perjalanan penyakit dari apa yang disebut DF (dengue fever/demam dengue). DF inilah yang mungkin terdengar kurang familiar di masyarakat. Saya juga baru tahu bahwa DF dan DBD itu berbeda tanda dan gejala klinisnya ketika belajar di kampus kedokteran. Gejala DBD (atau DF) yang popular di masyarakat tentu demam pelana kuda dan bintik-bintik merah pada kulit. Namun poin diagnosis ini tidak khas, karena demam bisa karena berbagai mikroorganisme, dan bintik-bintik merah juga bisa menunjukkan kelainan kulit. Sebagai tambahan: nyeri di belakang bola mata, nyeri-nyeri tulang dan otot, ini juga poin diagnosis infeksi virus, karena dengue itu virus, maka gejala-gejala ini akan biasa ditemukan.

Nah, untuk meyakinkan dugaannya, dokter/tenaga kesehatan (nakes) biasanya akan bertanya riwayat bepergian ke daerah yang dicurigai banyak kasus DBD atau adakah keluarga dengan sakit serupa. Kemudian dokter/nakes melakukan tes turniket (lengan dipasangkan tensimeter, lalu dipompa dengan perhitungan tertentu dan dipertahankan selama 10 menit). Tes ini positif jika muncul ptekie (bintik merah) >10 bintik dalam area lingkaran berdiameter 5 cm kita gambar di atas lengan pasien. Ini menunjukkan “kerapuhan” dari pembuluh darah pasien, dan ini yang bisa dibilang DF atau kita kenal suspect DBD. Trombosit rendah pun ada di DF maupun DBD. Kapan bisa kita bilang DBD? Ketika ditemukan tanda kebocoran plasma, seperti kekentalan darah (hematokrit) >20% nilai normal. Tentu harus ada pemeriksaan darah dulu untuk ini :). Bagaimana pengobatan yang diperlukan, saya lanjutkan ke dalam cerita ya. Yuk, kembali menyimak cerita anak muda tadi~

***

Hal yang membuat anak muda itu cemas adalah karena bermodal ilmu seadanya yang ia tahu tentang DBD, perjalanan penyakit ini biasanya 2-7 hari. Dimana hari ke 4-5 itu adalah masa kritis DBD, sehingga perlu dilakukan pengawasan yang benar. Jika kita hitung secara matematis, maka jika demam dimulai Jumat malam, maka ia bisa keluar dari RS pada Jumat malam, atau setidaknya Jumat pagi, padahal Jumat pagi itulah waktu ujian komprehensif. Dan disaat-saat inilah, ﷲ memberikan kemudahan yang tidak disangka-sangka. Bukankah ﷲ dalam firmanNya pada Q.S. Al Insyirah ayat 5 dan 6 mengatakan hingga dua kali:

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Rasulullah pernah keluar rumah pada suatu hari dalam keadaan senang dan gembira, dan beliau juga dalam keadaan tertawa seraya bersabda: 

“Satu kesulitan itu tidak pernah mengalahkan dua kemudahan, satu kesulitan itu tidak pernah mengalahkan dua kemudahan, karena bersama kesulitan itu pasti terdapat kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu terdapat kemudahan.”

Anak muda itu menelepon ibunya ketika sedang berada di IGD, dan mengabari ibunya perihal apa yang ia alami. Tidak ingin merepotkan ibunya, anak ini berkata kepada ibunya untuk tidak perlu mendatanginya, karena anak muda ini tahu ibunya yang sedang melanjutkan studi doktoral tentu memiliki beban yang lebih, ditambah dengan kesibukan kantor ibunya. Namun ternyata kasih ibu jauh lebih kuat dibandingkan dengan beban kerja dan studi yang ibunya jalani. Jadilah ibunya menghampiri ia keesokan harinya dengan mengambil penerbangan pagi :). 

Ohiya, melewati malam pertama di ruang rawat inap, anak muda ini ditemani tiga orang kawannya yang berbeda-beda usia dan kampung asalnya. Bhinneka Tunggal Ika. Hahaha. Selasa keesokannya ibu anak muda ini datang. Dokter penanggung jawab berkata dengan jelas bahwa anak muda ini memang terkena DBD. Dengan harap-harap cemas, anak muda tersebut bertanya kemungkinannya untuk mengikuti ujian. Namun dokter tersebut tidak bisa menjanjikan. Dilanda kegelisahan, ibu anak muda ini dengan penuh keibuan memberitahu anaknya untuk fokus dalam penyembuhan diri. Sampai pada titik ini, harapan anak muda tersebut sudah sangat tipis.

Kemudian datanglah teman-teman si anak muda secara silih berganti, mendoakan, membawakan berbagai makanan dan minuman. Terapi untuk DBD itu sendiri tidak ada yang spesifik, cukup memperhatikan asupan makanan serta cairan yang masuk dengan yang keluar, seperti dengan memasang cairan infus dan memastikan pasien mengkonsumsi air minum yang cukup. Prinsipnya karena “kebocoran” plasma itu sehingga cairan tubuh pasien terus berkurang, sehingga perlu digantikan dengan cukup. Sampai kapan? Tenang saja, infeksi virus biasanya akan hilang tanpa pengobatan yang spesifik seperti disebut di atas. Untuk DBD sendiri biasanya berlangsung selama 2-7 hari. Namun tetap harus dipantau karena jika terapi cairannya tidak baik, DBD bisa masuk ke tahap lanjutan penyakitnya, yaitu DSS (dengue shock syndrome), ya, pasien bisa syok yang dapat menyebabkan kematian!

Rabu, hari ketiga dirawat, 2 hari menjelang ujian. Kemudahan itu ﷲ datangkan juga. Dokter membawa kabar baik. Kadar trombosit dan hematokrit anak muda itu sudah kembali normal. Artinya? Ya, anak itu boleh pulang hari itu juga! Alhamdulillah. Mendengar kabar ini, tentu anak muda dan ibunya senang. Tahu apa lagi kemudahan yang didapatkan oleh anak muda ini? Ternyata, semua biaya rumah sakit anak muda ini ditanggung oleh BPJS. Alhamdulillah. Akhirnya pulanglah anak muda itu dan ibunya ke kost. Namun setelah beberapa pertimbangan, ibunya mengajak anaknya untuk tidak tinggal di kost selama bersama ibunya. Biaya yang awalnya untuk membayar administrasi RS, dipakailah untuk membelikan sepatu untuk anaknya. Alhamdulillah again!

Anak muda ini sangat bersyukur atas kedatangan ibunya. Ia meminta restu dan doa agar ujiannya lancar kepada ibunya. Namun karena mendapat kabar adik dan kakak dari anak muda ini ternyata juga dirawat dengan gejala yang sama, ibu anak muda ini pun harus segera kembali ke ibukota. Ibu. Sosok yang sangat dihargai dalam agama Islam. Sosok yang rela bertaruh nyawa untuk melahirkan dan membesarkan anak muda ini bersama dengan kakak dan adik-adiknya.

Bi idznillah, anak muda ini mengikuti ujian di hari Jumat dan Sabtu. Kekhawatiran yang meliputi dirinya akan kondisi adik dan kakaknya alhamdulillah berkurang setelah melihat foto-foto kondisi mereka yang dikirim via whatsapp, thanks to technology. Dengan modal semangat dan hasil dari belajar kelompok ketika Kamis malam sesaat sebelum ujian, si anak muda akan segera menghadapi ujian yang menentukan ini. Dan ujian pun dimulai…


Minggu, 29 Maret 2015. Pengumuman kelulusan ditempel. Salah seorang senior mengabadikan gambarnya dan dikirimkan ke dalam grup. Alhamdulillah, nama anak muda itu ada! Anak muda itu sangat bersyukur, dan segera mengabari ibunya kabar baik ini. Tentu, keluarga anak muda ini bahagia akan kelulusannya. Doa ibu, doa keluarga, serta dukungan dari teman-temanlah, yang anak muda itu yakini menjadi pengantar keberhasilannya untuk menjadi dokter muda, ﷲ mengabulkan doa mereka. Seminggu setelahnya anak muda ini menjalani orientasi dan pelatihan gawat darurat sebelum dibagi ke dalam siklus-siklus kecil yang ada di klinik. Menjadi dokter muda baru permulaan. Awal mula perjalanan anak muda ini meniti karirnya sebagai klinisi di masa depan.

***

6 April 2015, hari pertama ia mengukir kisah perjalanan hidup sebagai dokter muda sebuah universitas negeri ternama di pulau Sumatera. Melewati berbagai momen yang indah untuk dikenang, sebagai modal membangun mimpi di masa yang akan datang. Momen-momen sulit, senang, bahagia kesemua momen yang ada dalam perjalanan hidupnya, sebisa mungkin selalu ia kabarkan kepada kedua orangtuanya. Karena ia meyakini, tanpa orangtuanya yang mendidik dan membesarkannya, ia tidak akan bisa menjadi apa-apa. Jangan membuat orangtua kita khawatir karena kita jarang menghubungi orangtua. Kabarilah mereka, susahmu, sedihmu, bahagiamu. Berceritalah kepada mereka, selagi mereka masih ada untuk mendengar ceritamu.

Padang, 3 Mei 2015

Referensi: 
Alquran. 
Davidson, R. et al., 2014. Oxford Handbook of Tropical Medicine. 4th ed. New York: Oxford University Press. 
Longo, DL. et al., 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill.
Muhammad, A. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. (alih bahasa oleh Ghoffar, MA., Mu’thi, A., Al-Atsari, AI). Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Sudoyo, AW. et al., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV ed. Jakarta: InternaPublishing. 
Cerita pengalaman hidup si anak muda.