Menikmati langit senja dengan corak jingga kemerahan di atas ketinggian sekian ribu kaki di atas permukaan laut memberikan inspirasi tersendiri. Menatap indahnya gemerlap cahaya perkotaan dan sunyinya samudra yang terhampar luas yang terletak bersebelahan, diselingi pemandangan gumpalan-gumpalan awan yang menggemaskan sekaligus berbahaya membuatku kembali merenung betapa kecilnya diri ini. Ditemani handsfree, sebotol air mineral, dan beberapa batang coklat asal Berlin hadiah dari teman sejawat berbeda benua, juga coklat hadiah dari ibu yang baru berkunjung ke kota yang disebut-sebut sebagai Paris van Java, izinkan aku menceritakan pikiran random yang terlintas begitu saja dalam benakku ;)
***
Jikalau manusia-manusia itu berani mengotori tangan mereka dengan mengambil yang bukan haknya, mungkin mereka lupa jika ﷲ masih mengizinkan asetilkolin dan kanal yang diaktivasi olehnya menginisiasi kontraksi otot-otot lengan mereka. Jika nikmat itu dicabut, sanggupkah mereka tetap berlaku demikian?
Jikalau manusia-manusia itu masih bisa berdiri tegak di atas kesombongannya, mungkin mereka lupa jika ﷲ masih mengizinkan tendon achilles mereka menghubungkan gastrocnemius muscle dan soleus muscle mereka dengan calcaneus bone atau tumit mereka. Jika nikmat itu dicabut, sanggupkah mereka tetap berlaku demikian?
Jikalau manusia-manusia itu dengan mudahnya berucap kata-kata yang tidak pantas kepada manusia lainnya, mungkin mereka lupa jika ﷲ masih mengizinkan area Broca mereka tetap berfungsi mengontrol laring, bibir, mulut, dan otot-otot aksesori untuk berbicara. Jika nikmat itu dicabut, sanggupkah mereka tetap berlaku demikian?
Jikalau manusia-manusia itu begitu gampangnya memandang rendah manusia lain, mungkin mereka lupa jika ﷲ masih mengizinkan stimulus cahaya yang masuk melalui jalur visual melaju tanpa hambatan menuju korteks visual otak untuk diproses. Jika nikmat itu dicabut, sanggupkah mereka tetap berlaku demikian?
Jikalau manusia-manusia itu tega menutup telinga atas aspirasi dan jeritan rakyat mereka yang begitu menyayat hati, mungkin mereka lupa ﷲ masih mengizinkan stimulus suara itu ditransmisikan ke dalam telinga dan diteruskan dalam bentuk impuls menuju korteks auditori otak. Jika nikmat itu dicabut, sanggupkah mereka tetap berlaku demikian?
Diriku pun juga tidak sempurna. Jika curahan hatiku di atas membuat jari telunjukku mengarah kepada orang lain, maka masih ada tiga jari lain yang mengarah kepadaku. Hal ini yang akan selalu aku ingat, dalam setiap nasehat dan kritikan yang aku berikan kepada orang lain. Jika ada kemungkinan mereka lupa, maka itu juga berlaku untuk diriku.
Semoga kita bukan termasuk bagian dari orang-orang yang lupa. Jikapun kita khilaf dan terlupa sesaat, semoga ﷲ masih mengarahkan kita kepada jalan kebenaran. Padahal kita bahkan tidak memiliki kuasa penuh atas sistem organ tubuh kita, lalu mengapa kita begitu berambisi merengkuh kekuasaan dan kenikmatan dunia yang hanya fana belaka?
Mengapa kita lupa? Lupa bahwa sengketa yang kita hadapi, perselisihan yang ada dalam hidup, dinamika bermasyarakat dan bernegara, semua itu tidak akan pernah terjadi kepada kita jika ﷲ tidak mengizinkan proses-proses fisiologi dasar tetap berlangsung dalam tubuh hambaNya yang lemah dan tak berdaya ini, terlebih lagi semua hanya akan terhenti di dalam galian lubang 2 x 1 meter?
Suasana di balik jendela kaca lapis dua itu kini sudah berubah menjadi kelam dan sunyi, kehilangan warna jingganya yang memudar dibalik gelapnya malam. Jika tidak ada petunjuk cahaya di ujung sana, bagaimana kita berharap sayap itu tetap utuh membawa kita sampai ke tujuan?
Jika suasana kelam ini terus belanjut tanpa adanya cahaya yang memberikan harapan untuk terus melaju, apa yang akan terjadi setelahnya? Akankah kita hanya menunggu cahaya itu datang, atau dengan segala kesempurnaan sistem organ yang dikaruniakan kepada kita, kita tetap berusaha untuk menyalakan secercah harapan di tengah gelapnya suasana sekitar?
Wallahu a’lam bishshawab.
Di atas awan, 18 Maret 2015
Referensi:
Guyton, AC., Hall, JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. (Alih bahasa oleh Irawati, dkk). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.